03 Februari 2009

Kambing Hitam


Kambing hitam, baik secara kiasan maupun sebenarnya, kita tentu tahu maksudnya. Kata kambing hitam bisa digunakan untuk menyebutkan hewan yang bernama kambing dengan bulu berwarna hitam. Namun demikian, kata ini juga digunakan dengan makna kiasan. Kambing hitam, secara kiasan adalah kata yang digunakan untuk menyebutkan orang kita yang difungsikan sebagai orang pertama. Atau, kambing hitam diartikan orang yang tidak bertanggung jawab serta menunjuk orang lain sebagai penanggung jawab perbuatannya.
Kata ini sering kita gunakan untuk menghindarkan diri kita dari sebuah tanggung jawqab. Umumnya ini dilakukan saat kita melakukan kesalahan, dan kita tidak berani bertanggung jawab, dan untuk menghindari tanggung jawab tersebut kita mencari orang lain sebagai penggantinya.
Sikap tidak bertanggung jawab merupakan salah satu dari sifat manusia. Manusia seperti ini adalah manusia pengecut. Berani berbuat tak berani bertanggung jawab. Yang lebih menyakitkan lagi, kambing yang tak tau apa-apa digunakan untuk alasan. Kaisan kambing ia tak tahu menahu dengan persoalan manusia, tetapi selalu menjadi penanggung jawab dari perbuatan manusia. 
Kambing merupakan binatang yang lemah. Karena kelemahannya itu, manusia yang pengecut dan penakut memanfaatkannya demi kepentingan manusia itu. Kambing, memnag lemah, tapi tak seharusnya ia “dimanfaatkan”. Kambing, binatang yang takut dengan air telah menjadi sasaran bagi manusia penakut untuk menutupi kelemahannya.
Begitu banyak manusia di dunia ini yang “memeras” kambing untuk menutupi kebiadannya. Begitu banyak manusia yang tak berani bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya. Sejatinya, manusia lebih takut dari pada kambing. Jadi, manusia yang pengecut lebih hina dari kambing yang tak mengerti apa-apa dengan persoalan manusia.
Mulai sekarang mari kita sadari bahwa membawa-bawa kambing dalam persoalan ketidak beranian kita merupakan sikap pengecut. Bukankah manusia lebih mulia dari seluruh makhluk yang ada dipermukaan bumi ini. Janganlah kita rendahkan diri kita dengan menjadikan kambing sebagai pengganti yang bertanggung jawab atas perbuatan salah kita. Mari bertanggung jawab, sebab bertanggung jawab dengan kesalahan lebih mulia dari pada menjadikan kambing sebagai tumbalnya.


02 Februari 2009

Mandiri


Kita sering mendengar orang mengucapkan kata mandiri. Entah itu diucapkan disertai dengan kata lain, atau hanya kata itu saja. Kata mandiri dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “dengan kekuatan sendiri”, atau “berdiri sendiri”. Dengan demikian, mandiri berarti memiliki kekuatan sendiri, atau tidak bergantung dengan orang lain.
Kapan seseorang disebut mandiri ? jawabannya tergantung keadaan orang tersebut. Mandiri dalam pengertian disini juga harus dilihat dari berbagai segi. Sebab, manusia memiliki berbagai bidang kehidupan. Apakah orang yang memiliki segalanya, yang bersifat material bisa disebut mandiri ? Atau apakah orang yang secara fisik, cacat, sedangkan secara mental sehat tidak bisa disebut mandiri. Banyak orang yang mengalami cacat fisik, tapi masih bisa berkarya. Demikian juga, banyak orang yang memiliki kelengkapan dan kesempurnaan fisik, tapi tak mampu menghasilkan karya yang bermanfaat. Bahkan, tak jarang ini justru menjadi beban orang lain. Karena itu, kemandirian tidak bisa dibatasi oleh kesempurnaan fisik semata.
“Jangan bilang bahwa keberhasilan yang kamu peroleh sekarang ini karena usaha kamu semata, disitu ada andil saya lo”, kata teman saya pada suatu kesempatan
Kita mungkin selama ini berpikir bahwa orang yang mandiri adalah orang yang sempurna. Orang yang memiliki segalanya, orang yang tak memiliki cacat baik secar fisik maupun mental, atau orang memiliki harta yang melimpah ruah. Benarkah demikian ? Bisa “ya” bisa juga “tidak”. Ya, karena ia memiliki kelengkapan. Tetapi bisa juga tidak. Sebabnya, karena manusia hidup selalu berada dalam kekurangan, dan selalu berusaha untuk menutupi kekurangannya. Manusia yang ada di bumi ini semuanya memiliki kekurangan. Buktinya, tak ada orang yang mampu melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain. Kita semua membutuhkan orang lain untuk menutupi kekurangan kita.
Kemandirian kita ada, karena adanya kekurangan orang lain. Demikian sebaliknya. Artinya, tak ada manusia yang benar-benar mandiri. Itulah sebabnya manusia memerlukan manusia lain untuk memandirikan dirinya. Mustahil manusia merasa dirinya kuat tanpa ada yang lemah. Mustahil orang merasa kaya tanpa ada yang miskin. Demikian pula, mustahil orang merasa cukup tanpa ada yang kurang.
Mandiri adalah kemampuan kita untuk menyatukan semua sumberdaya yang ada untuk mewujudkan tujuan kita. Tak ada manusia yang mampu menghidupi dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Kita bergantung dengan orang lain. Sadar atau tidak, kita semua saling membutuhkan. Tolong menolong marupakan cara kita untuk membangun kemandirian. Hanya orang bodoh dan lemahlah yang membusungkan dada bahwa setiap keberhasilannya merupakan hasil jerih payahnya sendiri. Orang mandiri adalah orang selalu mengakui bahwa dalam setiap titik keberhasilannya ada andil orang lain yang turut serta. Jadi orang yang mandiri bukanlah orang yang hidup, bekerja, bergaul, berkomunikasi, dan selalu bersama dengan orang lain. “Eh.. jangan sombong ya, kalau tak bantuan saya, kamu nggak seperti sekarang ini”, kata teman saya mengingatkan 
Kapan kemandirian itu akan kita peroleh ? Suatu saat kelak, ketika kita tidak membutuhkan orang lain, atau ketika kita sudah tidak membutuhkan kekuatan lain untuk membantu kita. Pada saat itu, semua kekuatan dan kekurangan akan lenyap, yang ada adalah kesempurnaan. Semua manusia tak ada yang saling membutuhkan. Masing-masing sibuk dengan dirinya sendiri. Dan terakhir dunia ini akan hancur, dan kiamat tibalah………..


01 Februari 2009

"TOKOH"


Akhir-akihr ini kita sering melihat dan mendengarkan berita tentang bangsa kita. Banyak orang yag di anggap sebagai tokoh bangsa memberikan pendapat tentang bangsa kita. Anehnya, dari sekian banyak pendapat itu, tak sedikit yang justru mencela bangsanya sendiri. Jangankan mencari cara untuk mengatasi masalah bangsa, mereka justru melecehkan dan menghina bangsanya. Prilaku para tokoh itu jauh dari kehendak yang diinginkan oleh rakyat Indonesia.
Banyak orang yang dianggap tokoh, tapi tak sedikit yang terpaksa menokohkan dirinya. Mereka dengan segala cara agar dijadikan tokoh oleh rakyat. Termasuk dengan cara menghujat, mencela, menghina, melecehkan sesama saudara sebangsa dan se tanah air. Mereka selalu berusaha agar disebut tokoh, walapun sebenarnya tak pantas disebut tokoh. Tidakkah mereka malu dengan rakyat yang sudah tahu dengan tabiat dan watak mereka. Mereka mengira dapat mengelabui rakyat. Tidak, mereka tak akan dapat mengelabui rakyatnya. Justru mereka sendiri yang mengelabui diri mereka sendiri. Apa yang telah mereka lakukan untuk bangsa ini belum seberapa dengan yang telah dilakukan oleh rakyat untuk mereka.
Rakyat berjuang, berkorban, mengabdi, demi keinginan para tokoh itu. Rakyat rela menderita dalam kemiskinan, keterbelakangan, penindasan, intimidasi, bahkan tak jarang ada yang berkorban nyawa demi para tokoh itu. Harta benda, keyakinan, ideologi, dan sebagainya rela dikorbankan oleh rakyat agar para tokoh itu dihormati, diagungkan, dimuliakan, serta diberi berbagai gelar dan tanda kehormatan. Rakyat rela miskin, hidup terlantar, merana, tergusur, dan segala macam kekurangan yang dirasakan, semua itu demi si tokoh. Rakyat rebutan nasi bungkus, rakyat rebutan sampah, rakyat rebutan, lahan, rakyat rebutan air, sementara tokoh rebutan kekuasaan, rebutan pengaruh, rebutan harta, rebutan kekayaan. Dua hal yang saling bertolak belakang. Akankah para tokoh itu sadar akan penderitaan rakyatnya.
Dalam kamus populer, tokoh diartikan sebagai orang yang memiliki keunggulan dan mempunyai jasa besar dalam organisasi dan sebagainya. Tokoh-tokoh bangsa yang ada sekarang ini banyak yang tidak memiliki kualifikasi seperti pengertian dalam kamus tersebut. Patut dipertanyakan keunggulan apa yang para tokoh itu miliki. Belum lagi bila dipertanyakan jasanya bagi bangsa dan Negara ini. Tapi, banyak diantara mereka yang tak tahu malu, mengaku memiliki keunggulan dan berjasa besar, padahal mereka tak lebih seperti kodok yang memiliki suara nyaring tapi penakut. Bahkan mereka hanya pandai berkoar-kora saja, sementara perbuatan mereka sangat sedikit yang dapat memberikan pencerahan kepada rakyatnya.
Para tokoh itu selalu menuntut balas jasa atas apa yang mereka lakukan kepada bangsa ini. Mereka selalu pamrih, tak ikhlas, serakah, dan ambisius. Rakyat yang selalu menjadi korban, dan bahkan selalu terpojokkan selalu menjadi kambing hitam. Mereka menjual rakyatnya untuk kepentingan diri mereka sendiri. Pantaskah mereka disebut tokoh.
Kita tentu menyadari bahwa dari sekian banyak tokoh itu, tentu ada yang layak dijadikan tokoh yang sebenarnya. Umumnya mereka yang the real tokoh tak mau memamerkan dirinya seperti tokoh kamuflase itu. Mereka bekerja dengan keikhlasan yang tinggi, sepi dari hangar-bingar kemewahan, penghormatan, kekuasaan, dan bahkan tak jarang para tokoh ini berkubang dengan penderitaan dan kekurangan, senasib dengan rakyatnya yang masih berada di tepi jurang penderitaan. 
Kita merindukan mereka, kita sangat berharap mereka akan tampil dipanggung kekuasaan, bekerja dan berusaha bersama rakyat, membangun bangsa dan Negara tanpa tuntutan balas jasa.