31 Januari 2009

BUNUH DIRI Part I


Hari ini terasa panjang dan melelahkan. Rutinitas yang ku jalani, dari hari ke hari itu itu saja. Jenuh dan bete selalu menghampiriku. Terkadang melamun merupakan salah satu cara untuk melampiaskan kejenuhan ini. Tapi terus-menerus melamun juga bosan. Berangkat kuliah, kemudian pulang. Belajar, atau membereskan kamar merupakan rutinitas yang dilakukan terus menerus. Perasaan bosan sering melanda. Kadang, terlintas pikiran untuk berhenti saja dengan rutinitas ini.
Kehidupan yang ku jalani hari demi hari tak kunjung berubah. Dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya tak ada yang memberikan rasa keindahan dalam jiwa. Semua kering, hampa, seakan tak bernyawa. Aku merasa seperti robot yang digerakkan dengan remote control. Semua sudah, dan selalu terjadi secara pasti. Sebagai manusia berpikir, aku ingin sesuatu yang berubah, sesuatu yang baru. Sesuatu yang dapat membawa rasa keindahan dalam jiwa. Aku ingin rutinitas yang ku lakukan memberikan pengaruh yang menyenangkan jiwaku. Tapi, sampai saat ini hal itu belum terjadi.
Mulai dari tidur sampai bangun tidur lagi. Siang ke malam, malam ke siang, semua hanya kehampaan yang ada. Hidup tak memberikan arti yang sesungguhnya. Apakah hidup yang dijalani manusia hanya sebatas rutinitas yang menjemukan ? Apakah hidup seperti ini yang akan memberikan manfaat bagi manusia. Ataukah memang begitulah garis kehidupan yang harus dilalui oleh manusia. Sangat membosankan. Kalau seperti ini bukan kah mati sebagai sebuah jawaban ?
Banyak kegiatan yang sudah kulakukan, seperti ikut latihan olah raga, forum diskusi, pecinta alam, dan sebagainya. Tetapi semua itu berlalu begitu saja. Tak ada yang bisa memberikan bekas bagi keindahan jiwaku. Kehampaan yang menjemukan. Aku muak. Aku resah. Aku bosan. Aku ingin berubah. Aku ingin menjadi lebih baik. Tapi, bagaimana caranya ?
“Hidup ini menyiksa !”
“koq begitu ?” dengan nada heran Agus memandang ke arahku.
“Hidup yang kujalani dari waktu ke waktu tak berubah. Aku rindu perubahan. Aku menginginkan sesuatu yang baru. Aku sudah putus asa. Mungkin kematian yang akan memberikan jawaban”
“Jangan begitu. Itu namanya kalah sebelum berperang”. Lanjut Agus. 
“Sudahlah tak perlu menggurui aku. Aku muak dengan semuanya. Aku ingin mati saja. Tolong berikan aku racun !”. pintaku.
Hidup sudah bukan lahan untuk bersyukur kepada Allah, tetapi sudah berubah wajah menjadi neraka yang mengerikan. Bagiku kehidupan sudah tak mampu lagi memberikan ketenangan jiwa. Jadi, untuk apa hidup tanpa kedamaian dan keindahan.
“Kalau begitu bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar” ajak Agus. 
“Nggak ah. Tak ada gunanya. Semua Cuma buang waku saja” jawabku ketus. Agus yang duduk disebelahku kelihatan gusar. Mungkin ia khawatir dengan diriku. “Ahh Agus cuma pura-pura prihatin denganku. Dalam hatinya tentu tak ingin aku jadi lebih baik. Jadi tak ada gunanya mengikuti ajakkannya.
“Bagaimana ? sebentar saja. Kita jalan-jalan ke taman, ke pasar, ke pantai atau ke gunung sekalian ? ajaknya lagi. 
“Nggak ah, aku disini saja. Aku hanya ingin disini. Aku ingin segera pergi dari kehidupan ini”. Keputusanku sudah bulat. Tak ada gunanya hidup di dunia yang tak mampu memberikan keindahan bagiku. Dunia ini telah mencabik-cabik diriku dengan rutinitas yang melelahkan. Aku ingin segera pergi, pergi ke tempat yang indah dan damai. Tempat yang tak memerlukan rutinitas seperti saat ini.
Aku bangkit dari kursi. Demikian juga Agus. Ia berusaha mengikuti langkahku. Aku berjalan menuju ke arah dapur. Aku berusaha untuk mencari sesuatu yang dapat digunakan untuk meninggalkan hidup ini. Agus segera mengambil pisau dapur yang tergeletak di atas meja. Sambil tetap waspada, ia menyimpan pisau itu di ranselnya. Aku berjalan ke arah lain. Ku lihat seutas tali. Ku ambil, lalu ku bentangkan. Ternyata seutas tali yang pendek. Aku melirik Agus yang berdiri tak jauh dariku. Sekilas ada perasaan lega diwajahnya. Mungkin ia berpikir tali sependek itu tak akan mampu dijadikan alat untuk gantung diri.
Tapi bagiku tidak. Aku berusaha untuk membuat simpul pada tali itu. Agus terdiam. Melihat aku mencoba untuk membuat lingkaran dengan tali itu, Agus terperanjat dan tersadar. “Aku pikir tali itu tak cukup” ujarnya. Mungkin ia berpikir aku menggunakan tali itu untuk mengikat leherku. Diambilnya tali itu. Aku diam saja. Dalam hati aku tetap berpikir untuk mencari alat untuk mengakhiri hidup ini.
Sering aku berusaha untuk mengakhiri hidupku. Mulai dari mencoba gantung diri, mengiris nadiku, meminum racun, dan sebagainya. Tapi, sampai sekarang belum ada yang berhasil. Entah kenapa, setiap melakukan percobaan bunuh diri, aku selalu berhasil di tolong oleh orang lain. Pernah sekali waktu, aku minum racun serangga. Pada waktu yang tepat para tetangga menemukanku dengan mulut berbusa. Entah dengan pertolongan macam apa, aku berhasil diselamatkan. Pernah juga aku mencoba gantung diri diatas pohon rambutan yang ada dibelakang rumah. Belum sampai tali itu menjerat leherku, ada saja tetangga yang datang untuk menghalangiku. Pernah juga di tengah malam buta aku berusaha untuk bunuh diri. Belum lama berlalu, ada saja petugas ronda yang menemukanku tak sadarkan diri. Entahlah, apakah ini rahasia Tuhan yang harus dicarikan jawabannya.
“Aku tetap ingin mengajak kamu jalan-jalan sebentar ke luar. Dirumahkan terasa sumpek. Semua terasa terbatas. Aku ingin kamu menghirup udara segar di luar sana” ajaknya lagi. Tanpa pikir panjang ditariknya aku keluar. Dengan langkah berat ku ikuti tarikan tangannya. Kami berdua keluar rumah dan berjalan di halaman depan. 
Bunga warna-warni menyambut kami. Bagiku semua ini tak ada artinya. Aku tak mampu lagi menikmati keindahan taman bunga ini. Semua yang ada seakan menertawakan diriku yang tak mampu hidup dengan baik di dunia ini. Semua seakan mengejekku yang kalah dalam pertarungan melawan rutinitas hidup. Aku KO oleh pekerjaan sehari-hari. Aku mengaku kalah. Dan karena kekalahan itu aku akan keluar dari arena kehidupan, turun dari gelanggang dengan langkah yang lemah dan gontai.
“Sekarang hiruplah udara sebanyak-banyaknya. Rasakan dadamu yang membusung, terisi penuh oleh udara. Berjalan-jalan lah dengan santai, lupakan segala beban hidup. Bebaskan dirimu dari segala pikiran yang ada. Ayu kita cari bunga terindah yang ada di taman ini” Agus memberi penjelasan panjang lebar. Dalam hati aku merasa tak ada apa-apa disini. Aku tak melihat bunga-bunga. Aku juga tak merasakan udara yang berhembus. Bahkan aku tak merasa ada udara yang masuk ke dalam rongga dada seperti anjuran Agus. Semua terasa hampa. Semua terasa diam. Tak ada yang mampu berbicara dengan jiwaku. Tak ada yang menawarkan keindahan. Semua kosong. Aku sudah tak berpikir lagi tentang kehidupan. Aku hanya berpikir tentang kematian. Dalam benakku, mati merupakan satu-satunya kata yang menawarkan sebuah jawaban. 
Aku berkhayal setelah mati semua masalah akan selesai. Beban tak ada lagi. Aku bebas melayang. Tak ada rutinitas. Tak ada tak kebosanan, tak ada kejenuhan. Bebas, dan bebas.
Agus berbicara panjag lebar tentang kehidupan. Suaranya seperti suara harimau yang mengaum memekakkan telinga. Persis seperti gemuruh gelombang yang hanya terdengar tetapi tak bisa memberikan kedamaian di hati. Tak ku hiraukan ceramah Agus. Bagiku semua tak memberikan pencerahan. Termasuk Agus. Bagiku ia hanya memberikan sesuatu yang justru akan menambah berat beban yang ku tanggung. 
Lama sudah kami duduk-duduk di taman. Aku hanya diam tak memberikan reaksi apa-apa tentang pembicaraan Agus. Biasanya kami selalu berdebat keras tentang kehidupan. Tidak hari ini. Aku hanya diam. Rasanya tak ada lagi yang perlu diperdebatkan. Bukankah semua sudah jelas. Tak ada yang membuat hidup menjadi lebih baik. Tak ada yang bisa membawaku keluar dari kejenuhan dan kebosanan ini.
Melihat aku yang tak memberikan reaksi apa-apa, Agus mengajakku kembali. “Sekarang lakukan apa yang ingin kau lakukan. Berbuatlah sesukamu. Jangan pedulikan aku”. Kami berjalan beriringan menuju ke kamar kostku. Agus duduk di kursi yang sudah mulai rusak. Kaki kursi itu berderit ketika ia merebahkan pantatnya. Wajahnya kelihatan lesu. Aku hanya diam. Entah kenapa, hari ini aku merasa tak mampu berbicara apapun. Pikiranku kacau. Otak rasanya buntu. Mungkin terlalu jenuh, atau karena cuaca yang sedang panas membuat aku merasa tak mampu berbuat apa-apa. 
Ku akui Agus merupakan teman terbaikku. Saat aku sedang resah ia selalu menghiburku. Saat aku membutuhkan teman, ia hadir. Pokoknya setiap saat ia selalu membantuku. Berbeda dengan teman-teman yang lain. Umumnya mereka takut denganku. Tak sedikit yang berusaha untuk menjauh atau menghindar bila aku mendatangi mereka. Bahkan ada di antara mereka yang berpikir bahwa aku sudah gila. Mereka sudah tak sudi lagi dengan ku hal ini juga menambah beban perasaanku. Aku, menurut mereka telah keluar jalur dari pikiran umum manusia. Kebosanan dan kejenuhan hidup selalu menghampiri manusia. Tetapi menurut mereka tak perlu dihiraukan karena itu merupakan bentuk ujian Tuhan yang harus dijalani manusia. Tetapi tidak bagiku. Semua itu merupakan beban yang harus diakhiri, dan salah satu jalannya adalah menghindari semua itu. 
“aku tadi ada bawa nasi bungkus. Kalau mau makan ambillah ditasku. Aku ingin tidur”. Kata Agus membuyarkan lamunanku. Dengan langkah gontai Agus beranjak ke pembaringan. Rupanya ia kelelahan sehabis mengantarku jalan-jalan di taman tadi. “Walaupun makanan itu tak bisa menyehatkan pikiran kita, Setidaknya makanan itu bisa menyehatkan badan” lanjat Agus sambil memejamkan mata. 
Begitulah Agus. Bila sudah tak bisa mempengaruhi aku, ia selalu berusaha untuk tetap membantuku. Walaupun terkadang terselip perasaan kasian dengannya, aku tak menghiraukan ucapannya. Bagiku itu hanya sekedar ucapan agar aku menerima pemberiannya.
Bergulat dengan berbagai pikiran yang tak karuan membuatku kacau. Sering kali aku merasa tubuhku dan jiwaku tidak bersatu. Masing-masing bekerja sendiri-sendiri. Ingin makan, tapi badan tak mau. Duduk membaca buku, tapi pikiran melayang entah kemana. Kondisi ini membuatku semakin tak bisa menemukan eksistensi hidup. Pelajaran kehidupan yang ada semata-mata hanya hiasan yang tak memberikan makna bagi pembangunan jiwa. Pelajaran itu justru menambah beban hidup. Sudah seperti ini apa yang kita cari lagi. Tuhan hanya menjadikan umat-Nya sebagai boneka mainan semata. Jadi tak ada gunanya hidup. Sebab, antara hidup dan mati hanya dibatasi tirai yang sangat tipis. Kita belum tahu rasanya mati. Kenyataannya sampai saat ini tak ada yang kembali karena merasakan beratnya alam kematian. Semua makhluk yang telah mati tak ada yang kembali ke dunia ini. Ataupun terlahir kembali. Jadi kesimpulannya mati itu lebih baik. Aku juga ingin merasakan mati.
Aku terlahir dari keluarga yang sangat bebas. Setiap anggota keluarga bebas menentukan kehidupannya sendiri-sendiri. Orang tua tak pernah ambil pusing dengan anak-anaknya. Jadilah kami tumbuh sebagai anak yang bebas. Hanya satu yang dipersyaratkan orang tua ku, yaitu kebebasan yang kami jalani jangan merugikan orang lain. Karena itu semua, aku hampir tak pernah kenal dengan yang namanya agama. Setelah dewasa, karena bergaul dengan banyak orang aku mulai Tanya-tanya tentang agama. Memang sih, di KTP-ku tertera agama Islam. Tapi sampai saat ini aku belum tahu apa itu Islam.
Bagiku agama bukan solusi, tetapi sumber masalah. Banyak ajaran agama yang tak bisa memberikan pencerahan bagi umat-Nya. Paling tidak seperti aku ini. Aku berpikir bahwa Tuhan menjadikanku manusia di muka bumi ini hanya sebagi boneka yang dilengkapi dengan sejumlah masalah dan penderitaan. Dengan masalah dan penderitaan itu, Tuhan akan mentertawakan makhluk-Nya yang tak mampu menghadapai masalah dan penderitaan itu. Alangkah naifnya Tuhan dengan semua ini.
Pernah suatu kali Agus menanyakan agamaku. Rupanya ia sanksi dengan diriku. Ku jelaskan bahwa aku orang Islam, tapi tak pernah mengamalkan ajaran Islam. Agus memang lebih alim dan taat dengan agamanya. Agus juga Islam. Islamnya Agus beda dengan diriku. Ia taat dengan perintah agamanya. Seringkali ia sholat dirumahku. Tak jarang ketika ia bertandang ke tempatku dalam keadaan puasa sunat. Aku sering mentertawakan dirinya yang mau berlelah-lelah dengan ketaatan. Tak jarang aku melecehkan puasa senin kemisnya. Ku katakan bahwa puasanya itu hanya menyiksa diri dengan haus dan lapar. Alias puasa yang dijalankannya tak memberikan arti apa-apa bagi dirinya. Agus biasanya diam saja bila kukatakan itu padanya. Paling sedikit manyun bila aku menganggap sepele ketaatannya kepada Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar